Salah satu yg
berbahaya diantara penyakit hati yg kita miliki adl sifat egois sifat
tak mau kalah sifat ingin menang sendiri sifat ingin selalu merasa benar
atau sifat ingin selalu merasa bahwa memang diri tak berpeluang untuk
berbuat salah. Sifat seperti ini biasa banyak menghinggapi orang-orang
yang diamanahi kedudukan—seperti para pimpinan dalam skala apapun.
Sifat-sifat tadi ujung-ujung akan bermuara pada sikap otoriter bahkan
lebih jauh lagi menjadi seorang diktator {suatu sebutan yg diantara
dinisbahkan pada pemimpin pemerintahan NAZI Jerman Adolf Hitler atau
pada pemerintahan fasis Italia zaman Benito Musolini dan juga para
pemimpin diktator dunia lainnya}.
Pastilah pula kita tak akan
pernah nyaman mendengar kata-kata seperti itu dan kita juga tak akan
pernah suka melihat orang yg otoriter yg segala seperti harus dalam
genggamannya. Dan hasil kita tahu sendiri bahwa orang-orang yg memiliki
cap otoriter orang yg selalu ingin segala dalam kekuasaan semua tunduk
dan patuh kepada ujung adl kejatuhan dan kehinaan. Dari segi nama saja
sudah menimbulkan kesan tak enak utk didengar kuping. Simaklah kata
“otoriter” “egois” atau “menang sendiri” seperti kita menangkap kesan yg
kurang sreg dgn kata-kata ini. Apalagi jika melihat langsung orang yg
memiliki sifat seperti itu akan lbh tak suka lagi. Tapi sayang seperti
kita jarang menyisihkan waktu utk berta secara jujur pada diri sendiri
apakah sifat-sifat itu ada pada diri kita atau tidak? Apakah kita ini
orang otoriter atau bukan? Maaf-maaf saja kepada para orang tua guru
manager pimpinan direktur komandan bos pokok orang-orang yg diamanahi
kekuasaan oleh Allah biasa memiliki kecenderungan sifat seperti ini.
Orang-orang yg otoriter biasa memiliki versi tersendiri dalam menilai
suatu kejadian versi yg sesuka dia tentunya. Hal ini krn dia selalu
memandang lbh diri sehingga selalu melihat sesuatu itu kurang dan jelek
saja. Akibat sebaik apapun yg dilakukan orang lain selalu saja dari
mulut meluncur omelan gerutuan dan koreksian. Tepatlah bagi pepatah
‘nila setitik rusak susu sebelanga’. Arti krn kesalahan sedikit jeleklah
seluruh kelakuannya. Bagi orang otoriter biasa tak ada pilihan lain
selain 100% harus sesuai keinginannya.
Hasil kajian sebuah
penelitian menyebutkan bahwa para korban NAPZA {Narkotika Pshikotropika
dan Zat Aditif lainya} diantara adl mereka yg tumbuh besar dari kalangan
orang tua otoriter keras mau menang sendiri tak mau berkomunikasi dan
tak ada dialog antar anggota keluarga sehingga si anak menjadi seorang
yg bersikap apatis acuh bahkan akhir si anak melarikan rasa ketertekanan
ini ke NAPZA naudzhubillah.
Ada pula anak yg selalu bentrok dgn
ibu krn si ibu begitu menuntut agar dia nurut 100% tanpa reserve.
Kondisi ini dibarengi pula dgn penilaian kepada anak yg selalu negatif
akibat yg diungkapkan si ibu selalu sisi-sisi yg salah dari diri si
anak. Munculah ungkapan “Sedikit-sedikit salah-sedikit-sedikit salah!”
bahkan saking kesal si anak ini berkata “Kalau saya ini salah terus lalu
kapan benar saya sebagai manusia ini? Kenapa semua yg saya lakukan
selalu disalahkan?!”. Padahal kalau si anak belum mengerti seharus orang
tua yg lbh dulu mengerti kalau si anak belum bisa paham seharus orang
tua yg duluan paham. Tapi krn orang tua tak mengerti dan kurang ilmu
akhir tanpa disadari si ibu telah menggiring dan menjerumuskan anak ke
dunia NAPZA.
Ternyata beginilah gaya mendidik yg otoriter yg
kaku dan kurang komunikatif akan menghasilkan anak-anak dalam kondisi
tertekan tak aman hingga ujung ia lari dari kenyataan yg dihadapinya.
Begitupun di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan yg memiliki
pimpinan bertife otoriter pastilah dia akan membuat karyawan tertekan.
Hal ini dapat diamati saat pimpinan datang ke ruang kerja karyawan semua
karyawan menjadi tegang gugup dan panik. Ini terjadi krn kalau pimpinan
datang maka yg dilihat hanya kesalahan-kesalahan karyawan saja. Mengapa
begini? Mengapa begitu? Ini salah! Itu Salah! Jarang memuji jarang
menghargai jarang menyapa dengan baik bahkan wajah menyeramkan dan
angker krn sangat jarang senyum. Pada akhir karyawan disiplin menjadi
disiplin takut atau disiplin semu padahal sebenar karyawan merasa
tertekan sakit hati dan bahkan benci ke si pimpinan yg otoriter ini.
Diantara ciri perusahaan dgn kondisi seperti ini adl ditandai dengan
perputaran keluar-masuk karyawan yg sangat tinggi. Semua karyawan dari
yang level tertinggi sampai yg level terendah mau keluar saja. Kalaupun
ada yang bertahan bukan krn senang bekerja di sana kebanyakan yg
bertahan memang krn butuh saja. Butuh uang bukan butuh suasananya.
Oleh sebab itu hati-hatilah bagi para pemimpin yg otoriter dan
bersiap-siaplah menjadi orang yg tak disukai krn saking banyak orang yg
merasa teraniaya. Orang otoriter itu marah saja biasa dilakukan di
sembarang tempat asal dia ketemu dgn yg dimarahi marah akan
meledak-ledak. Padahal kemarahan seperti itu justru akan mempermalukan
si pemarah itu sendiri karena orang yg melihat akan mengeluarkan
penilaian yg negatif kepada dia. Misal “Kok marah gitu-gitu amat padahal
dia haji padahal dia pejabat”. Orang-orang yg marah biasa omongan juga
jelek sekali kata-kata kasar dan menyeramkan. Jadi ketika si pemarah itu
marah yg dimarahi bukan malah nurut atau bukan malah simpati yg terjadi
justru orang itu akan mengeluarkan penilaian sendiri. Walaupun nampak
seperti nunduk atau manggut-manggut tapi hati tak pernah bisa dibohongi
tak pernah bisa dibeli dgn kemarahan. Yang ada justru orang itu akan
menjadi sakit hati dongkol dan merendahkan orang yg marah walaupun
mungkin pada saat itu ia tak berani mengekspresikannya.
Hati-hati nih bagi para pimpinan yg suka marah-marah terutama
orang-orang yg tak biasa jadi bawahan kadang-kadang ia agak otoriter.
Dalam keluarga militer memang kecenderungan sifat otoriter muncul di
keluarga itu akan jauh lbh kuat krn memang jalur komando ala militer
kadangkala diberlakukan oleh pimpinan di keluarga itu dgn konsep
militer. Celaka di kantor dididik dalam gaya hidup ala militer sayang di
rumah mendidik dgn gaya yg sama mendidik dgn gaya ala militer padahal
kondisi kantor dan kondisi rumah berbeda. Pernah ada sebuah keluarga dgn
empat anak ternyata tiga diantara mengalami depresi berat krn sang ayah
terlalu kaku dalam memimpin rumah tangga yg pengelolaan disamakan
seperti di kantornya. Jangan heran bila ada orang yg sukses di kantor
belum tentu sukses di rumah tangga. Ada yg “sukses” di kantor itu krn ia
begitu tegas sebagai seorang komandan tapi di rumah anak-anak itu beda
krn memang mereka bukanlah militer mereka tak dilatih kemiliteran dan
terlebih lagi mereka tak dikasih pangkat.
Perlu diwaspadai pula
bahwa biasa pemimpin yg otoriter akan membuahkan pula bibit–bibit anak
didik yg otoriter. Seperti guru yg otoriter akan menghasilkan anak-anak
didik yg otoriter pula bahkan nakal. Guru yg otoriter di kelas diantara
sifat-sifat adl mau menang sendiri kata-kata tajam dan suka
mempermalukan. Kelakuan ini sebenar akan jadi bumerang bagi guru itu
sendiri seperti tak disukai pelajaran tak disenangi perangai dan tentu
saja ini suatu hal yg kontra produktif. Apalagi perilaku-perilaku
seperti ini sangat bertentangan dgn sikap-sikap yang dituntunkan
Rasulullah SAW yg ternyata memiliki pribadi yg sangat indah santun dan
berakhlak mulia.
Bagi orang yg bagus perangai berwajah ceria
serta mulia akhlak maka ia laksana mawar yg kuncup di musim semi dia
akan beroleh banyak teman yg membawa kedamaian dan ketentraman semua
pintu terbuka baginya. Sementara orang pemberang mudah marah egois dan
otoriter harus menggedor pintu utk bisa sekedar berbincang dgn seorang
kawan. Karena yg terbaik adl keramahan akhlak dan keceriaan. Rasulullah
SAW sendiri adl seorang yg senantiasa berwajah cerah ceria penuh
sungging senyuman insya Allah. *
sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym
Tidak ada komentar:
Posting Komentar