Kamis, 12 Juli 2012

Mengikis Sikap Otoriter tausyiah oleh K.H. Abdullah Gymnastiar

Salah satu yg berbahaya diantara penyakit hati yg kita miliki adl sifat egois sifat tak mau kalah sifat ingin menang sendiri sifat ingin selalu merasa benar atau sifat ingin selalu merasa bahwa memang diri tak berpeluang untuk berbuat salah. Sifat seperti ini biasa banyak menghinggapi orang-orang yang diamanahi kedudukan—seperti para pimpinan dalam skala apapun. Sifat-sifat tadi ujung-ujung akan bermuara pada sikap otoriter bahkan lebih jauh lagi menjadi seorang diktator {suatu sebutan yg diantara dinisbahkan pada pemimpin pemerintahan NAZI Jerman Adolf Hitler atau pada pemerintahan fasis Italia zaman Benito Musolini dan juga para pemimpin diktator dunia lainnya}.
Pastilah pula kita tak akan pernah nyaman mendengar kata-kata seperti itu dan kita juga tak akan pernah suka melihat orang yg otoriter yg segala seperti harus dalam genggamannya. Dan hasil kita tahu sendiri bahwa orang-orang yg memiliki cap otoriter orang yg selalu ingin segala dalam kekuasaan semua tunduk dan patuh kepada ujung adl kejatuhan dan kehinaan. Dari segi nama saja sudah menimbulkan kesan tak enak utk didengar kuping. Simaklah kata “otoriter” “egois” atau “menang sendiri” seperti kita menangkap kesan yg kurang sreg dgn kata-kata ini. Apalagi jika melihat langsung orang yg memiliki sifat seperti itu akan lbh tak suka lagi. Tapi sayang seperti kita jarang menyisihkan waktu utk berta secara jujur pada diri sendiri apakah sifat-sifat itu ada pada diri kita atau tidak? Apakah kita ini orang otoriter atau bukan? Maaf-maaf saja kepada para orang tua guru manager pimpinan direktur komandan bos pokok orang-orang yg diamanahi kekuasaan oleh Allah biasa memiliki kecenderungan sifat seperti ini.
Orang-orang yg otoriter biasa memiliki versi tersendiri dalam menilai suatu kejadian versi yg sesuka dia tentunya. Hal ini krn dia selalu memandang lbh diri sehingga selalu melihat sesuatu itu kurang dan jelek saja. Akibat sebaik apapun yg dilakukan orang lain selalu saja dari mulut meluncur omelan gerutuan dan koreksian. Tepatlah bagi pepatah ‘nila setitik rusak susu sebelanga’. Arti krn kesalahan sedikit jeleklah seluruh kelakuannya. Bagi orang otoriter biasa tak ada pilihan lain selain 100% harus sesuai keinginannya.
Hasil kajian sebuah penelitian menyebutkan bahwa para korban NAPZA {Narkotika Pshikotropika dan Zat Aditif lainya} diantara adl mereka yg tumbuh besar dari kalangan orang tua otoriter keras mau menang sendiri tak mau berkomunikasi dan tak ada dialog antar anggota keluarga sehingga si anak menjadi seorang yg bersikap apatis acuh bahkan akhir si anak melarikan rasa ketertekanan ini ke NAPZA naudzhubillah.
Ada pula anak yg selalu bentrok dgn ibu krn si ibu begitu menuntut agar dia nurut 100% tanpa reserve. Kondisi ini dibarengi pula dgn penilaian kepada anak yg selalu negatif akibat yg diungkapkan si ibu selalu sisi-sisi yg salah dari diri si anak. Munculah ungkapan “Sedikit-sedikit salah-sedikit-sedikit salah!” bahkan saking kesal si anak ini berkata “Kalau saya ini salah terus lalu kapan benar saya sebagai manusia ini? Kenapa semua yg saya lakukan selalu disalahkan?!”. Padahal kalau si anak belum mengerti seharus orang tua yg lbh dulu mengerti kalau si anak belum bisa paham seharus orang tua yg duluan paham. Tapi krn orang tua tak mengerti dan kurang ilmu akhir tanpa disadari si ibu telah menggiring dan menjerumuskan anak ke dunia NAPZA.
Ternyata beginilah gaya mendidik yg otoriter yg kaku dan kurang komunikatif akan menghasilkan anak-anak dalam kondisi tertekan tak aman hingga ujung ia lari dari kenyataan yg dihadapinya. Begitupun di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan yg memiliki pimpinan bertife otoriter pastilah dia akan membuat karyawan tertekan. Hal ini dapat diamati saat pimpinan datang ke ruang kerja karyawan semua karyawan menjadi tegang gugup dan panik. Ini terjadi krn kalau pimpinan datang maka yg dilihat hanya kesalahan-kesalahan karyawan saja. Mengapa begini? Mengapa begitu? Ini salah! Itu Salah! Jarang memuji jarang menghargai jarang menyapa dengan baik bahkan wajah menyeramkan dan angker krn sangat jarang senyum. Pada akhir karyawan disiplin menjadi disiplin takut atau disiplin semu padahal sebenar karyawan merasa tertekan sakit hati dan bahkan benci ke si pimpinan yg otoriter ini.
Diantara ciri perusahaan dgn kondisi seperti ini adl ditandai dengan perputaran keluar-masuk karyawan yg sangat tinggi. Semua karyawan dari yang level tertinggi sampai yg level terendah mau keluar saja. Kalaupun ada yang bertahan bukan krn senang bekerja di sana kebanyakan yg bertahan memang krn butuh saja. Butuh uang bukan butuh suasananya.
Oleh sebab itu hati-hatilah bagi para pemimpin yg otoriter dan bersiap-siaplah menjadi orang yg tak disukai krn saking banyak orang yg merasa teraniaya. Orang otoriter itu marah saja biasa dilakukan di sembarang tempat asal dia ketemu dgn yg dimarahi marah akan meledak-ledak. Padahal kemarahan seperti itu justru akan mempermalukan si pemarah itu sendiri karena orang yg melihat akan mengeluarkan penilaian yg negatif kepada dia. Misal “Kok marah gitu-gitu amat padahal dia haji padahal dia pejabat”. Orang-orang yg marah biasa omongan juga jelek sekali kata-kata kasar dan menyeramkan. Jadi ketika si pemarah itu marah yg dimarahi bukan malah nurut atau bukan malah simpati yg terjadi justru orang itu akan mengeluarkan penilaian sendiri. Walaupun nampak seperti nunduk atau manggut-manggut tapi hati tak pernah bisa dibohongi tak pernah bisa dibeli dgn kemarahan. Yang ada justru orang itu akan menjadi sakit hati dongkol dan merendahkan orang yg marah walaupun mungkin pada saat itu ia tak berani mengekspresikannya.
Hati-hati nih bagi para pimpinan yg suka marah-marah terutama orang-orang yg tak biasa jadi bawahan kadang-kadang ia agak otoriter. Dalam keluarga militer memang kecenderungan sifat otoriter muncul di keluarga itu akan jauh lbh kuat krn memang jalur komando ala militer kadangkala diberlakukan oleh pimpinan di keluarga itu dgn konsep militer. Celaka di kantor dididik dalam gaya hidup ala militer sayang di rumah mendidik dgn gaya yg sama mendidik dgn gaya ala militer padahal kondisi kantor dan kondisi rumah berbeda. Pernah ada sebuah keluarga dgn empat anak ternyata tiga diantara mengalami depresi berat krn sang ayah terlalu kaku dalam memimpin rumah tangga yg pengelolaan disamakan seperti di kantornya. Jangan heran bila ada orang yg sukses di kantor belum tentu sukses di rumah tangga. Ada yg “sukses” di kantor itu krn ia begitu tegas sebagai seorang komandan tapi di rumah anak-anak itu beda krn memang mereka bukanlah militer mereka tak dilatih kemiliteran dan terlebih lagi mereka tak dikasih pangkat.
Perlu diwaspadai pula bahwa biasa pemimpin yg otoriter akan membuahkan pula bibit–bibit anak didik yg otoriter. Seperti guru yg otoriter akan menghasilkan anak-anak didik yg otoriter pula bahkan nakal. Guru yg otoriter di kelas diantara sifat-sifat adl mau menang sendiri kata-kata tajam dan suka mempermalukan. Kelakuan ini sebenar akan jadi bumerang bagi guru itu sendiri seperti tak disukai pelajaran tak disenangi perangai dan tentu saja ini suatu hal yg kontra produktif. Apalagi perilaku-perilaku seperti ini sangat bertentangan dgn sikap-sikap yang dituntunkan Rasulullah SAW yg ternyata memiliki pribadi yg sangat indah santun dan berakhlak mulia.
Bagi orang yg bagus perangai berwajah ceria serta mulia akhlak maka ia laksana mawar yg kuncup di musim semi dia akan beroleh banyak teman yg membawa kedamaian dan ketentraman semua pintu terbuka baginya. Sementara orang pemberang mudah marah egois dan otoriter harus menggedor pintu utk bisa sekedar berbincang dgn seorang kawan. Karena yg terbaik adl keramahan akhlak dan keceriaan. Rasulullah SAW sendiri adl seorang yg senantiasa berwajah cerah ceria penuh sungging senyuman insya Allah. *
 
sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym

Tidak ada komentar: