KH. Noer Ali, Putra Betawi yang Menjadi Pahlawan Nasional
“Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. ya
itu adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para orang tua dulu.
Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena ia menjadi ikon
kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa
revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan “Singa Karawang Bekasi” atau
ada juga yang menyebutnya “si Belut Putih”. Saya memang tidak banyak tau
tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para orang tua.
Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi. Kembali ke
KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki
pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama
Ujung malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki lebih dari 50
Cabang. Dan saya adalah orang yang termasuk salah satu santri
dicabangnya (At- Taqwa 46) Walau hanya tingkat Madrasah ibtidaiyah, Syukur Alhamdulilah saya pernah melihat langsung Beliaw pada kegiatan lomba dan kemping bersama di PonPes Attaqwa Pusat di sekitar tahun 1990'an. Cerita perjuangan beliau begitu banyak
yang saya dapatkan baik dari para orang tua maupun guru (ceritanya
seperti film-film kolosal ^_^). Ia selalu bisa lolos/menghilang ketika
ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia berjuluk si belut
putih), meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak, murid-muridnya
yang kebal peluru karena amalan wirid dan ratibnya, dll. Beliau juga
sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya,
hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat tiong hoa
yang non Muslim dari penjajah Belanda. Alhamdulillah pada 9 November
2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha
Putra Adipradana. Berikut sekilas dari biografinya
KH. Noer Ali “Singa Karawang-Bekasi” Sebagaimana biografi yang
ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang
(sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester
Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu,
seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin. Meskipun
ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut
ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya
yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun
(1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah. Saat di Mekah, semangat
kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang
mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia.
Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer
Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari
Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat
teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di
Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September
1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer
Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia
menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan
Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya
dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga
selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul
ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap
Jenderal Oerip Soemohardjo
di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan
tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat
jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat
Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda
menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat
Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak
ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera
itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya.
Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas
Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan
karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat
Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini
membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung
dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang
antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain,
menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali
digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai
“Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki
karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak
buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak
buahnya ini tidak taat. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H.
Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi
Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta
atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di
Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat
akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama
pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian
Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang
Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu
delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk
melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan.
Ketika
pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan.
Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh
A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu.
Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan
melalui pendidikan maupun melalui jalur politik. Pemikiran Noer Ali
untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak
ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang
lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di
Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di
Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di
berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar
Jawa. Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara
RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat
Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat
sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia diangkat menjadi
anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan
Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus
Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang
kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat. Tahun 1971-1975
menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua
Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat.
Sumber dikutip dari : id.wikipedia.org/wiki/Noer_Alie dan noeralie.wordpress.com
Sumber dikutip dari : id.wikipedia.org/wiki/Noer_Alie dan noeralie.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar